Minta Maaf Nggak yaaaa……..?! Malu euy…Takut euy…

H+2 dari lebaran tahun lalu. Aku berangkat ke kota baruku. Kota baru tempat aku hendak menimba ilmu di jenjang perguruan tinggi. Pengumuman penerimaan dua bulan lalu ternyata tak memberi kesempatan padaku untuk mendapatkan tiket kereta api setidaknya H+6 dari lebaran. Bisa dibayangkan betapa susahnya mendapatkan tiket di musim lebaran seperti itu. Harga tiket melambung tinggi. Berkali-kali lipat melambungnya. Apalagi jika harus bernego dengan para penjual tiket gadungan alias calo. Harga tak akan  tanggung-tanggung tingginya. Berkali kali kali kali lipat. Ketika tanya ke petugas tiket di stasiun, tiket yang masih ada maksimal H+2 setelah lebaran. Dahsyat!! Merenggut kebersamaan lebaran bersama keluarga. Namun, satu-satunya jalan yang harus diambil ya memang begitu.

Mengapa tidak pakai bus atau trevel atau pesawat aja??

Alasannya, pasti harganya melambung tinggi juga. Kalau pakai bus bisa dibayangkan waktunya pasti sangat lama. Aku dari Kebumen boo..perjalanan normal yang pernah aku tempuh pakai bus aja 13 jam di musim sekolah. Musim lebaran?? Apalagi..lebih lama. Macet!! Pastinya..Uft..

Travel?? Boleh juga sii..tapi..ah..nggak kepikiran teh waktu itu kalau sebaiknya milih naik travel aja. Huhu…cediiih..-_-

Pesawat?? Ah..senyum ngejek aja deh. Kotaku bukan kota besar. Nggak ada bandara boo..Kalau mau naik pesawat kudu ke Jogja dulu. Dan itu makan waktu 5 jam buat sampai Jogja. Huhu..

Kendaraan yang praktis, ekonomis dan anti macet yaa cuma kereta. Biarpun bukan kereta kencana atau kereta kuda, tetep aja namanya kereta. Orang-orang kotaku sering nyebutnya sepur.

Parahnya lagi. Karena saking gugupnya waktu beli tiket tuh. Sampai aku sendiri melupakan sesuatu yang sebenarnya sangat membantuku. Aku cuma beli tiket sebiji sodara-sodara. Huhu.. Berangkat berarti harus sendiri. Ya!! Sendiri. Nelongsone Gustii…

Malam idul fitri.

Takbir bergema di seluruh jagat.

Tuhan..terimakasih masih memberiku kesempatan untuk menjumpai Idul Fitri lagi.

Syukur tiada terkira ketika takbir itu secara nyata berdengung syahdu nan merdu di telingaku. Menabuh gendang telinga yang tak seberapa besarnya. Namun jika kehilangan, menderita sudah kita.

Hati semakin tak menentu ketika subuh tiba. Manusia sejagat berbondong-bondong ke masjid dan lapangan. Berjamaah penuh syukur dalam shalat Idul Fitri. Menggemakan takbir bersama-sama. Mendengarkan khutbah khas Idul Fitri yang setiap tahun pasti isinya sama. Ah..namun aku tak pernah bosan mendengarnya. Aku sangat menyukainya. Lantas, bersalam-salaman saling bermaaf-maafan.

Usai dari masjid. Aku dan kedua adikku bersungkem ke bapa dan ibu. Tak kuduga sebelumnya, air mata kembali menetes di tanggal yang sama, pada orang yang sama, dalam moment yang sama, dan dalam penyesalan yang sama. Apalagi, kalau ingat besok hari harus bergegas ke Bandung. Ya..Bandung, kotaku saat ini. Tanah Sunda tempat aku menginjakan kaki saat ini.

Ibuku memelukku, menciumi pipiku kanan dan kiri. Tak lupa memberiku angpau berisi uang yang rutin diberikan di moent ini. Hehe..biarpun sudah segede ini, tapi moment angpau putihlah yang masih sering ditunggu.:D #Ah, jujur sekali.

Usai sungkem ke ibu dan bapa. Aku langsung kabur ke rumah simbah putriku. Tentu saja. Simbah putri sudah sangat menanti cucu-cucu kesayangannya datang.

Cucu-cucu simbah sudah sungkem semua, tersisa aku seorang. Terlintas ide jail, otak bekerja maksimal. Cek pengait di kanan, kiri, tengah dan seluruh bagian. Sip!! Siap!!

Aku jongkok ke simbah putriku. Dan mulai berucap pelan-pelan.

“Badanan mbah..kulo ngaturaken sedoyo lepat nyuwun ngapunten. Kulo ndodok panjenengan ndekem, ora dikei duit, tek antem..”

Pemirsa yang berada di rumah simbah meledak ketawanya. Termasuk simbahku. Beliau menjawil pipiku sayang. Moment yang sakral aku pecah dengan candaan. Suara bersliweran dipojok-pojok rumah simbah. Hihi…maaf ya simbah sayang..Aku mengulangi dengan serius. Simbah tersenyum manis sekali. Walau giginya tak utuh lagi, bibirnya tak klimis lagi, pipinya tak mulus lagi, tapi tetap saja, simbah termanis nan cantik yang aku miliki. J

Usai bersungkem-sungkem ria. Ketupat, opor, gulai, dan kawan-kawannya yang berbau kolesterol nan tinggi itu terhidang. Ah..masakan khas lebaran. Tangan-tangan mencomot. Makan sambil terus menikmati kelezatan yang tiada duanya. Hanya ada di moment lebaran untuk mendapatkan rasa ketupat yang Hmm…Yummi sekaleee. Aku rasa, kalian semua setuju. Yaa kan?? Udah ngaku aja deeh. 😛

Gelak tawa, gurau canda, tangis ceria, suka cita, berbaur jadi satu bak es doger dengan berbagai isi. Moment yang aku rekam dalam-dalam di hati, otak dan jiwaku. Dan akan membukanya tiap kali aku mau dan aku rindu.

Usai prosesi makan dan dimakan, simbah mendekatiku. Menyellipkan angpau putih ke tanganku.

Aku yang terbiasa seperti tak terbiasa lagi.

Aku menolaknya dan mengembalikan ke simbahku lagi.

“Buat simbah saja..Udah gede harusnya kan aku yang ngasih simbah, eh tapi malahan belum bisa kasih juga..huhuhu…”

Simbah putri hanya tersenyum dan menerima tolakanku. Aku mencium pipinya yang kempot. Simbah menjawil pipiku lagi.

Ah..pokoknya segala kerinduan di hari lebaran jelas terekam. Ada aja ya tiap detik dosa yang dilakukan. Baru aja minta maaf, eh bikin dosa lagi, terus dengan alasan mumpung masih lebaran, minta maaf lagi deh, begitu terus selanjutnya. 😀

***

Hari yang sebenarnya tak ditunggu datang juga. Tepat sekali hari Rabu tertanggal 22 Agustus 2012.

Hari yang merenggut kebahagiaan dan kebersamaanku dan keluargaku. Hari yang membuatku deg-degan tak karuan. Ah….nggak kebayang bakal jauh sama ibu, sama bapa, sama adik, kerabat, teman dari SD sampai SMK. Arggghh..rasanya pengen jadi anak-anak ajaa..biar nggak kayak gitu, biar kalau pergi pasti ada yang nemenin, biar kalau main ada yang nemenin juga, biar kalau lagi sebel ada yang disebelin. Huhu..sedih!!Hikz.

Ibu mengecek segala bekal yang harus aku bawa. Mulai dari yang paling nggak pernah aku pikirkan sampai yang membuat aku puyeng nggak karuan.

Jam menunjukan pukul 08.00 WIB. Aku harus berangkat ke stasiun. Aku pamit ke bapakku yang paling ganteng dikeluargaku. (Ssst…coz ibu, aku dan kedua adikku cewe semua):D. Ibu dan adikku mengantarkanku ke stasiun.

Stasiun masih sepi. Ada sih manusia, tapi yaa..Cuma dikit doang. Maklum, mereka yang suka berlalu lalang di kereta api pasti masih menikmati moment lebaran. Kami menunggu di koridor stasiun yang panjang. Kursi tunggu masih banyak yang kosong. Aku duduk menghimpit ibuku sayang. Menyandar di bahunya.

09.00

Ah..4 menit lagi kereta berangkat. Aku mulai melangkah ke dalam. Kusalami tangan ibuku. Beliau menciumku hangat. Matanya memedar. Seperti menahan airmata yang hendak jatuh ke tanah. Aku mulai melangkah. Adikku membantuku membawa barang bawaanku ke dalam.

Nggak kebayang benar-benar nggak kebayang. Pergi ke kota yang benar-benar belum sempat aku mengenalnya lebih dalam, namun sekarang harus menyambanginya tanpa kawal.  Sendirian membawa barang-barang.

Kereta datang. Aku menoleh ke ibuku. Beliau berucap dengan suaranya yang tak lagi ku dengar

Hati-hati..jaga kesehatan, jaga diri, semangat anakku!!

Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam kereta. Bayangan ibuku perlahan mulai hilang, seiring berjalannya kereta yang terus menjauh ke arah barat kotaku yang penuh kenangan.

Selamat tinggal ibu, selamat tinggal bapa, selamat tinggal adikku. Selamat tinggal kenangan-kenanganku yang terus terserak di bumi kelahiranku.

Kereta terus melaju. Sesekali berhenti di stasiun-stasiun menunggu kereta api bisnis lewat terlebih dulu. Menunggu kereta-kereta exekutif lewat dulu. Maklum, kereta yang aku naiki saat itu kereta ekonomi yang irit ongkos. J. Tapi aku suka. Suka sekali. Walau sering terganggu ketika penjual-penjual asongan berjejalan masuk menawarkan dagangan

Kopi anget ..aqua..sprite..

Nasi anget neng..nasi anget…

Rambutan…sawo…

Strowberry neng..

Neng??

Aku melihat keluar jendela. Ah..pantas saja sudah memasuki Jawa Barat. Aroma Sunda sudah mulai terasa. Menggegerkan telinga dengan tawaran-tawaran jajanannya. Ah berarti tadi, aku tertidur lama.

Aku melihat jam tangan. 3 jam lagi sampai.

Ah..perutku mulai keroncongan. Irama musik di lambungku mulai menunjukan bakatnya. Drumnya sedikit demi sedikit di tabuh. Senar-senar dawai mulai dipetik perlahan. Ah..padu sekali dengan ditambah suara ngik-ngik mesin kereta tua.

“Bu..pecelnya satu, jangan pakai bunga, jangan pakai bayam, jangan pakai toge ya bu..”

“Iya neng…diantos sakedap nya..”

Aku menganggu. Menunggu sang ibu penjual pecel meracik pesananku.

“Ini neng..”

“Berapa bu?”

“5 ribu..”

“Ini bu..”, kataku sambil menyerahkan selembar uang 5 ribuan.

“Nuhun neng..”

“Sami-sami ..”

Irama di perutku mulai berhenti. Pengisian bahan bakar. Semua alat musik harus dimatikan. Karena dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan.

Aku makan perlahan. Belepotan dengan sambal yang pedasnya menggelegar. Tapi tetap saja. Sambal itu bumbu yang menggoyang.

Srrrrrrtttt….

Mantap surantap!!

Satu pincuk pecel habis.

Semenit, dua menit….10 menit..

Aku diam. Seperti mendengar suara radio rusak dari dalam perutku.

Ash…sial!! Aku lupa. Argh….selalu saja.

Baru pedes dikit doang. Dinding-dinding lambung mulai berdenyut tak karuan.

Arggghhh..perih….Perutku sayang..plissss ngertiin aku yaa..pliss…

Menahan rasa sakit nan perih di organ tubuhku.

Ah..aku lalai pesan ibuku. Perutku sensitif sekali dengan makanan pedas.

Aku memejamkan mata. Dan kembali tertidur.

Sawo-sawo..strawberry…

Strawberry neng…

Aku terbangun lagi gara-gara suara penjaja buah yang aduhai sekali suaranya. Menggelegar keras menembus peron kereta api.

Ah, cuci muka dulu biar nggak panik.

Aku berjalan ke kamar mandi kereta. Baru saja membuka pintu. Sepoi amoniak mencegat langkahku.

Dongkol tak karuan.

Siapa sih yang baru saja buang hajat? Siapa sih yang baru saja pipis. Air aja ada melimpah di ember, cuma mengguyur kotorannya sendiri saja ogah.  Benar-benar membuang nafsuku buat cuci muka hilang. Padahal tulisan di dinding kamar mandi jelas sekali terbaca. JAGALAH KEBERSIHAN. Ini mah bukan menjaga kebersihan, tapi mencemari kebersihan dan kenyamanan.

Aku membalikkan badan. Kembali duduk di deretan kursi tadi.

Masih dengan sumpah serapah yang mengganjal. Dongkol bin prihatin.

Andai aja aku punya handphone yang ada kamar mandinya. Nggak perlu dongkol gini gara-gara mencium bau menyan dari kotoran dan pipis manusia. Tinggal pencet aplikasinya, lalu masuk dan legaa…lagi-lagi tanpa bau menyan pesing manusia-manusia lain yang tak mau mengguyur kotorannya sendiri.

Aku terus saja memainkan HP nokia 1200 ku.

Sesekali melihat jam.

Pemukiman-pemukiman mulai berjajar rapi di sepanjang rel kereta api.

Ah…Kiaracondong sebentar lagi.

Benar saja. Kereta mulai perlahan berjalan. Lalu berhenti. Penumpang-penumpang berjejalan keluar. Ah lagi-lagi prihatin ngliyatnya.

Padahal ini tempat pemberhentian kereta terahir. Dan kereta akan berjalan nanti jam 21.30, Ah..betapa tak sabarannya mereka.

Pintu sudah agak sepi. Giliranku turun.

Okey!!

Welcome to the Bandung Aiz!!

Pelabuhanmu untuk beberapa tahun kedepan aiz!! SEMANGAT ya!!

Aku membuka mataku lebih lebar. Aku datang menyambut zaman. Hahaha..:D.

Aku terseok-seok membawa tas segede kulkas ukuran mini. Belum lagi tas punggungku. Ah…bener-bener terlihat seperti boyongan. Supir taksi menawarkan jasanya. Abang becak menawarkan tumpangannya. Abang angkot juga. Haduh….ribet..nggak tau apa bang..aku lagi menanti pangeran berkuda biru…#emang ada? Haha:D

Nampaknya becak pilihan yang tepat.

“Mang…sampai ujung jalan layang ya..”

Muhuun neng..”

Pedoman jalanku Cuma satau. Naik angkutan warna biru, jurusan Margahayu Raya-Ledeng, terus turun di Panorama,  jalan nglewatin masjid Darut Tauhid. Di sebelah baratnya masjid ada gang Darmawinata masuk, lewat FPMIPA, terus ada gang berterali besi, gang cempaka, masuk aja, belok kiri, terus belok kanan, rumah nomor 117.

“Sudah sampai neng..”

“Berapa mang?”

“15 ribu neng..”

“Hah…dari sana ke sini doang 15 ribu mang? Mahal amat ya..”

“Musim lebaran neng..”

Aku kasih si mang tukang becak selembar uang sepuluh ribuan dan selembar uang lima ribuan. Lantas aku nunggu siangkot biru berhenti lalu membawaku ke panorama.

Sungguh lah, sangat melelahkan, pakai sekali. Puyeng pula. Yang ada saat itu Cuma ngeluh ngeluh..ngeluuuuuuuh aja.

Tepat pukul 18.06 WIB, aku sampai di kostan baruku. Ibu kostku menyambut dengan sangaaaat ramah. Menyuguhkan aku minum. Membawakan barang bawaanku ke kamarku di lantai atas. Mengantarkan makan untukku tiap kali waktu makan. Ya iyalah warung-warung kan belum ada yang buka. 😀

Adaptasi dimulai. Batuk, flu menyerang. Badan sedang melakukan aklimatisasi ke daerah bersuhu dingin ini. Tahu sendiri kan, Kebumen itu panasyh!! Sangat!! Sedang Bandung? Dinginn meradang.

Flu benar-benar menyerang. Tiap kali minum pasti kebelet pipis. Jadi hampir tiap waktu ke kamar mandi muluu. Menderita sekali.

Bandung masih sepi. Aku pun masih kesepian menanti kamar kostku yang tak kunjung datang. Fani. Mojang Banjar. Teman satu kamarku. Dan Putri, teman kamar sebelah.

Sehari-hari hanya mengoprasikan komputer saja. Mengakses situs-situs di internet dengan wifi yang bocor. Hehe 😀

Internet gratis.

Tak berapa lama, Fani dan Putripunakhirnya datang. Menemani hari-hariku kedepan.

“Fan..ibu kostnya baik banget tahu. Kemarin aja ya aku dikasih makan, minum, makanan ringan cobaa…baikk banget..”

“Alhamdulillah…”

Aku, Fani dan Putri seiring berjalannya waktu semakin bisa menilai sesama, mencoba saling mengerti dan memahami.

Sayang. Aku yang satu jurusan dengan Fani malahan beda kelas. Dengan Putri beda jurusan. Dia keperawatan.

Waktu terus berjalan. Telinga mulai akrab dengan kata-kata sunda. Tugas-tugas mulai menumpuk bak Gunung Kilimanjaro di Afrika sana.

Teman-teman mulai banyak berdatangan untuk berbagi ilmu dan mengerjakan tugas.

Keanehan-keanehan mulai terjadi.

Suatu ketika ibu kost menegur kami,

“Neng, kalau bawa temen jangan banyak-banyak ya..maksimal 2 aja. Takut roboh. Soalnya lantainya kan dari kayu, belum di cor neng..”

“Oh iya bu…”

Aku dan Fani saling memandang.

Sambil berucap lirih di kamar.

“Jadi ini teh belum di cor? Gila aja!!”

“Heran…”

Ibu kost dengan anaknya yang emang hobinya ngegosip, makin digosok makin sip . Mulai mengganggu ketentraman habitat kami. Ia mulai membicarakan kami. Dan itu sangat jelas terdengar dari atas. Ah..kata-katanya banyak membuat kita sakit hati.

Hal tersebut adalah awal dari tragedi yang membuat kita jadi teruus berprasangka buruk ke ibu kost. Menyumpah serapah yang sebenarnya tiada gunanya.

Suatu ketika ada tugas membuat peta kalau nggak salah. Mereka sms ke salah satu diantara kita berdua (fani, aku), karena peringatan yang di ultimatumkan ibu kost itu, sms pun tak ada yang dibalas.

“Giamana dong iz..”

“Atuh ya..gimana?? ntar ibu kost ngomel lagi, ngomongin kita lagi dibawah.. nyeri hati tau nggak..”

“Iyya emang iz, apalagi bahasa Sundanya kasar.”

Tiba-tiba, tanpa babibu..

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam..”

3 orang sekaligus datang. Aku dan fani saling lirik bingung bin nggak ngerti harus berbuat apa.

Baru 30 menit berselang.

“Assalamualaikum..”

“Waalaikumsalam…”

Oh nooo….4 orang datang lagi. Argghh!! Pasti ngomel lagi, pasti ngomel lagi tuh si nenek kost!!

Aku dan fani saling memandang pasrah.

Tepat jam 10 mereka pulang.

Pagi harinya suara-suara dengusan ibu kost kembali menabuh gendang telinga kami.

Awalnya kami udah memutuskan buat nggak menggubrisnya lagi. Namun lama kelamaan semakin membuat gendang telinga makin sering berdendang. Hati semakin redup nyala dag dig dug penuh kekhawatiran.

Suatu ketika temen aku kepengen banget buang air kecil, ia pun langsung ke kamar mandi. Eh eh eh..pagi harinya si empunya kost langsung memasang iklan di pintu kamar mandi

“MAAF BUKAN WC UMUM!! YANG BOLEH MENGGUNAKAN HANYA YANG KOST DISINI.”

Ih…nggak berperikemanusiaan banget si ibu kost. Kalau temen aku kepengen pipis giman coba. Kalau pengen BAB gimana coba? Harus ditahan biar jadi penyakit?? Hah!!

Hatiku makin geram. Hingga suatu ketika tiba di permasalahan puncak yyang membuat kita benar-benar bagai di kandang singa. Tersiksa lahir batin. Membuat kita jadi nggak betah di kost ini.

Ah..bener-bener nggak enaaak banget. Fisik mah nggak terluka, tapi batin..terluka terlampau dalam.

Aku dan Fani saling berprasangka makin nggak karuan ke ibu kost.

“Atuuuh..kita kan udah bayar. Listrik juga tiap awal bulan, nggak telat tuh bayarnya. Masih aja ngomel..”

“Iyya…dulu mah awal-awal baik..lama-lama menikam. Apa sih maunya..”

Dan berbagai cercaan lain yang kami lontarkan ke ibu kost. Hingga pada akhirnya Fani pindah kost, ikut bareng kakaknya.

Dan resmilah saat itu aku terkungkung berdua dengan Putri.

Fani pergi. Aku dan Putri. Kekuatan yang tersisa.

Aku dan dia masih bisa bertahan disini. Diruah nan penuh kata-kata menyiksa.

Hati ini masih perih banget kalau inget ucapan-ucapan ibu kost tempo dulu.

Hingga ia berbuat baik padaku, sampai-sampai aku menilai pasti ada maunya. Ah benar saja.

Sungguh aku sudah tak betah disini. Masa Cuma bawa magic com doang bayar listriknya 50.000, padahal dikamar ibu kost, di lantai bawah tiap kamar mereka selalu ada Tvnya yang tiap hari menyala. Betapa nggak adilnya coba, sedang waktuku banyak habis di kampus, bukan kostan, jadi secara tidak langsung itu menunjukan kalau yang boros listrik tuh yang punya kostnya.

Huft. Pengen banget nampar mulutnya yang sok manis di depan kita.

Sampai-sampai aku nangis sendiri kalau inget cercaan mereka terhadapku dan fani dulu. Lemes banget mulutnya. Apalagi kata-katanya kasar. Bagaimana tidak coba. Aing sia.. kasar kaan. Itu slah satu kata-kata yang sering mereka konsumsi untuk mencerca kami. Bahkan obrolan tiap hari dengan anaknya pun sering pake kata-kata tersebut.

Sakit hati?? BANGET!!

Tapi kan sayang kalau pindah kost sekarang, kontraknya masih ada. Apalagi uang kost tuh udah dibayar setahun. Rugi dong kalau pindahnya sekarang ini.

Aku coba bertahan sampai saat ini. Menata hati yang sudah diporak-porandakan ibu kost.

Sikapnya yang menjadi lain saat ini, membuatku jadi nggak peka lagi.

Prasangka-prasangka buruk gemar menghampiri. Walau sebenarnya ibu kost sedang berbuat baik buatku. Lebih tepatnya mungkin aku sudah menjudge dia.

Tapi sungguh. Hati lelah. Batin capek. Udah fisik terforsir tiap hari pula. Benar-benar down di ujung harapan.

Hingga tanpa disadari tiba-tiba saja ada seuntai kalimatdatang menghampiri

“Saat orang lain melempar kau dengan batu, jangan balas kau melemparnya dengan batu, tapi lemparlah dengan anggur. Ketika orang lain membuatmu menangis, maka buatlah dia olehmu ketawa. Terkadang memang banyak sekali keburukan yang dibalas dengan keburukan juga. Namun masih ada seorang yang membalas keburukan itu dengan kebaikan. Apakah kau salah satu pembalas kebaikan itu?? Jangan diingat-ingat keburukan yang telah dia lakukan padamu. Ingat-ingat saja kebaikannya..Sehingga kau pun akan terdorong untuk membalas kebaikan-kebaikan orang tersebut yang telah di lakukan untuk kita..”

Aku terpejam. Akankah aku biarkan batinku lelah dengan terus berprasangka buruk? Padahal manusia kan nggak selamanya berbuat buruk ke ita. Hakikat hidup juga kan, jikalau ada yang menyenangi ada juga yang membenci. Bahkan sering sekali cinta, kasih sayang, dan persahabatan dimulai dari saling membenci.

Aku terpejam lebih dalam. Aku harus bisa minta maaf ke mereka. Walaupun nggak harus bilang apa salahku ke mereka.

Hari itu aku putuskan untuk bayar listrik ke ibu kost.

“Ibu..punten ya bu, baru bayar listrik…baru ada uang bu…”

“Iyya..nggak apa-apa neng, lagian tanggal 10nya masih lama juga. Nggak apa-apa kok..”

Otakku merangsang sgnal ingin berburuk sangka. Namun jiwa menepis untuk tetap berbaik sangka.

“Oya neng punten, neng au lanjut kost disini atau mau pindah neng?”

“Pindah ibu….mau cari yang lebih murah..”

“Oh iya neng nggak apa-apa…terus selesainya kapan neng?”

“Selesai kontraknya maksudnya bu?”

“Iyya neng..”

“Waktu itu kan mulai agustus ya bu..jadi akhirnya Juli kan bu..”

“Iyya neng..tapi punten ya neng, kalau akhirnya juni gimna neng..kan kamar mau dicat lagi. Mau di renovasi lagi. Kan bakal ada yang nempatin lagi…”

Aku terheran…

Kok gitu siih…

Tapi aku tipe orang yang nggak suka ambil pusing. Nggak mau bikin ruwet masalah.

“Owh gitu…ya sudah bu..besok bu..akhir juni kan..”

“Iyya neng…”

Aku terdiam….

“Bu…”

“Iya neng…”

Aku memantapkan hatiku. Benar-benar sungguh-sungguh kali itu aku berkata.

“Kalau Aiz punya salah mohon dimaafkan ya bu….”

“Iya neng…sama-sama ya neng…ibu juga minta maaf…”

“Sekali lagi mohon maaf ya bu bayar listriknya telat…..”

“Nggak apa-apa kok neng nggak apa-apa…”

Aku menangkap rona elok di wajah ibu kostku.

Aku pun kembali ke kamarku dengan perasaanyang lega karena sudah meminta maaf.

Ternyata beban itu yang membuat jalanku terus terseok-seok. Berat untuk meminta maaf. Namun ketika keputusan untuk meminta maaf itu tercapai, hati begitu lega. Jalan tak lagi terseok. Satu bom moloton sudah meledak. Telor ayam sudah pecah. Awan bergeser membuka jalan sinar mentari ke bumi.

Aku menangis. Menangis bahagia telah mampu meminta maaf terlebih dulu.

3 pemikiran pada “Minta Maaf Nggak yaaaa……..?! Malu euy…Takut euy…

Tinggalkan komentar